Politik identitas telah menjadi fenomena yang semakin menonjol dalam lanskap politik Indonesia, terutama sejak era reformasi.

Politik identitas adalah strategi politik yang memanfaatkan identitas kelompok tertentu seperti agama, etnis, atau budaya sebagai basis untuk memobilisasi dukungan dan meraih kekuasaan politik.

Meskipun bukan hal baru dalam sejarah Indonesia, fenomena ini kembali mencuat ke permukaan dan menjadi sorotan publik terutama sejak Pilkada DKI Jakarta 2017.

Sekelompok orang Indonesia dari berbagai latar belakang berdiri di lingkungan kota yang kompleks dengan simbol-simbol perpecahan sosial dan ketidakadilan.

Dampak negatif dari politik identitas dapat mengancam persatuan bangsa dan stabilitas sosial.

Praktik ini berpotensi mempertajam polarisasi masyarakat, memicu konflik horizontal antar kelompok, dan mengabaikan aspek kompetensi dalam pemilihan pemimpin.

Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika menghadapi tantangan serius ketika politik identitas dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab.

Pengertian Politik Identitas

Sekelompok orang Indonesia yang beragam berdiri bersama dengan latar belakang Monas dan rumah tradisional, menunjukkan perbedaan dan kesatuan dalam identitas politik.

Politik identitas merupakan praktik politik yang mendasarkan pilihan dan tuntutan pada identitas tertentu seperti agama, etnisitas, dan budaya.

Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap ketidaksetaraan dan marginalisasi kelompok-kelompok tertentu dalam struktur kekuasaan.

Definisi secara Konseptual

Politik identitas mengacu pada praktik politik di mana individu atau kelompok mendasarkan pilihan politik mereka pada identitas tertentu.

Identitas ini meliputi ras, agama, gender, etnisitas, orientasi seksual, atau budaya.

Menurut Abdillah dalam bukunya “Politik Identitas Etnis” (2002), politik identitas adalah politik yang kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan tertentu.

Persamaan tersebut mencakup agama, etnis, dan jenis kelamin.

Lilliana Mason dan Nicholas T Davis mendefinisikan politik identitas sebagai partisipasi individu dalam politik atas nama kelompok sosial tertentu.

Sementara Kauffman menjelaskan bahwa politik identitas terkait dengan keterlibatan langsung dengan suatu kelompok dan institusi.

Dalam konteks ini, identitas menjadi pusat perjuangan politik untuk mendapatkan pengakuan, hak, dan representasi yang lebih baik.

Politik identitas bertujuan mengadvokasi hak-hak kelompok yang merasa diabaikan atau dirugikan oleh struktur kekuasaan dominan.

Sejarah dan Kemunculan Politik Identitas

Politik identitas muncul sebagai respons terhadap ketidaksetaraan dan marginalisasi yang dialami kelompok-kelompok tertentu.

Dalam masyarakat plural dan kompleks, beberapa kelompok sering merasa diabaikan oleh struktur kekuasaan dominan.

Gerakan Hak Sipil di Amerika Serikat pada 1960-an menjadi salah satu contoh awal politik identitas.

Komunitas kulit hitam memperjuangkan kesetaraan hak berdasarkan identitas rasial mereka.

Gerakan feminisme dan komunitas LGBT+ juga merupakan manifestasi politik identitas berdasarkan gender dan orientasi seksual.

Gerakan-gerakan ini menunjukkan bagaimana identitas menjadi basis mobilisasi politik.

Globalisasi dan media sosial turut mempercepat perkembangan politik identitas.

Arus informasi yang meningkat dan kesadaran lintas batas negara memberikan ruang bagi kelompok terpinggirkan untuk bersuara dan membangun solidaritas.

Faktor Pendorong Politik Identitas di Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan keragaman suku, ras, agama, dan budaya memiliki kondisi yang kondusif bagi munculnya politik identitas.

Beberapa faktor utama mendorong fenomena ini:

Marginalisasi sosial menjadi faktor utama ketika kelompok tertentu merasa diabaikan oleh pemerintah atau struktur sosial.

Mereka membentuk identitas kolektif sebagai alat memperjuangkan hak mereka.

Kesadaran kolektif yang meningkat tentang ketidakadilan dan hak asasi manusia mendorong kelompok terpinggirkan menuntut representasi yang lebih adil.

Kesadaran ini berkembang seiring dengan meningkatnya akses informasi dan pendidikan.

Politik reaktif dari kelompok mayoritas yang merasa terancam oleh perubahan demografis atau kebijakan inklusif juga memicu munculnya gerakan politik identitas.

Hal ini menciptakan dinamika yang kompleks dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Dampak Negatif Politik Identitas

Sekelompok orang Indonesia yang berbeda latar belakang berdiri berlawanan dengan ekspresi tegang, menunjukkan perpecahan sosial akibat politik identitas.

Politik identitas menciptakan dampak merugikan bagi stabilitas sosial dan demokrasi.

Praktik ini memicu perpecahan masyarakat, mendorong sikap diskriminatif, dan melemahkan kesatuan bangsa.

Polarisasi Sosial dan Perpecahan

Politik identitas memperdalam jurang pemisah antar kelompok masyarakat.

Kelompok-kelompok yang berbeda identitas saling berhadapan dan menganggap kelompok lain sebagai ancaman.

Masyarakat terpecah menjadi kubu-kubu berdasarkan agama, etnis, atau suku.

Setiap kelompok mengembangkan sikap defensif dan curiga terhadap kelompok lain.

Komunikasi antar kelompok menjadi terbatas dan penuh prasangka.

Dialog konstruktif sulit terjalin karena masing-masing pihak fokus mempertahankan kepentingan identitasnya.

Cyberbalkanization atau fragmentasi dunia maya memperburuk polarisasi.

Media sosial menciptakan ruang tertutup di mana setiap kelompok hanya terpapar informasi yang mendukung pandangan mereka.

Ketegangan sosial meningkat dan berpotensi memicu konflik terbuka.

Masyarakat kehilangan kemampuan untuk berdiskusi secara objektif tentang isu-isu nasional.

Eksklusivitas dan Diskriminasi

Politik identitas mendorong munculnya sikap eksklusif dalam berbagai aspek kehidupan.

Kelompok mayoritas atau dominan cenderung mengabaikan hak-hak kelompok minoritas.

Marginalisasi terjadi ketika kelompok tertentu dikucilkan dari proses pengambilan keputusan politik.

Akses terhadap sumber daya dan kesempatan menjadi tidak merata berdasarkan identitas.

Stereotip negatif berkembang dan menguat terhadap kelompok tertentu.

Individu dinilai bukan berdasarkan kemampuan atau karakter, melainkan identitas kelompoknya.

Diskriminasi terjadi dalam berbagai bidang seperti pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan publik.

Kelompok yang dianggap “berbeda” mengalami pembatasan akses dan perlakuan tidak adil.

Hak asasi manusia terabaikan ketika identitas menjadi dasar perlakuan diskriminatif.

Prinsip kesetaraan di hadapan hukum menjadi lemah dan tidak efektif.

Penyalahgunaan untuk Kepentingan Politik

Para elit politik memanfaatkan sentimen identitas untuk meraih dukungan massa.

Weaponized identity atau identitas yang dipersenjatai menjadi alat mobilisasi politik yang berbahaya.

Politisi mengeksploitasi emosi kelompok dengan menyebarkan narasi “kita versus mereka”.

Isu-isu substansial seperti ekonomi dan pendidikan terabaikan karena fokus pada identitas.

Kampanye politik menjadi arena saling serang berdasarkan latar belakang identitas.

Kualitas program dan visi kepemimpinan tidak lagi menjadi pertimbangan utama pemilih.

Hoaks dan informasi menyesatkan disebarkan untuk memperkuat sentimen negatif antar kelompok.

Literasi politik masyarakat menurun karena terpapar propaganda berbasis identitas.

Demokrasi terdegradasi ketika pilihan politik didasarkan pada fanatisme identitas.

Sistem checks and balances melemah karena loyalitas buta terhadap figur dari kelompok yang sama.

Penghambat Integrasi Nasional

Politik identitas menghambat pembentukan identitas nasional yang kuat dan inklusif.

Loyalitas terhadap kelompok identitas mengalahkan rasa kebangsaan.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi bangsa mengalami erosi.

Keberagaman yang seharusnya menjadi kekuatan berubah menjadi sumber perpecahan.

Kohesi sosial melemah ketika masyarakat lebih mengutamakan kepentingan kelompok.

Solidaritas nasional tergantikan oleh solidaritas primordial yang sempit.

Pembangunan nasional terhambat karena energi masyarakat tersedot untuk konflik identitas.

Fokus pada kemajuan bersama teralihkan pada pertentangan kelompok.

Generasi muda mengalami kebingungan identitas antara kebangsaan dan identitas kelompok.

Nasionalisme yang sehat sulit berkembang dalam atmosfer politik identitas yang toxic.

Contoh Politik Identitas di Indonesia

Indonesia telah mengalami berbagai kasus politik identitas yang memanfaatkan perbedaan agama, etnisitas, dan SARA dalam kontestasi politik.

Kasus-kasus tersebut mencakup polarisasi dalam pemilihan umum, penggunaan isu keagamaan untuk mobilisasi massa, dan munculnya gerakan sosial berbasis identitas tertentu.

Kasus Politik Identitas dalam Pilkada dan Pemilu

Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh paling menonjol dari penggunaan politik identitas di Indonesia.

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai petahana menghadapi serangan politik identitas karena latar belakang agama Kristen Protestan dan etnisitas Tionghoa.

Kasus ini bermula dari pernyataan Ahok mengenai Surat Al-Maidah ayat 51 yang kemudian dianggap sebagai penistaan agama.

Massa berbasis Islam menggelar serangkaian demonstrasi besar-besaran untuk menuntut penghukuman terhadap Ahok.

  • Pemilih terpecah berdasarkan garis agama dan etnisitas
  • Kampanye hitam menyebar melalui media sosial
  • Narasi “pemimpin harus seagama” mendominasi diskursus publik

Pilpres 2019 juga menunjukkan penggunaan politik identitas melalui narasi pribumi versus non-pribumi.

Isu radikalisme dikaitkan dengan salah satu kandidat.

Isu Agama, Etnisitas, dan SARA

Isu SARA menjadi instrumen politik identitas yang sering digunakan dalam kontestasi politik Indonesia.

Agama dan etnisitas dimanfaatkan untuk memobilisasi dukungan atau mendiskreditkan lawan politik.

Isu agama sering muncul dalam bentuk:

  • Narasi pemimpin harus beragama Islam di daerah mayoritas Muslim
  • Tuduhan radikalisme atau tidak religius terhadap kandidat tertentu
  • Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam kampanye politik

Diskriminasi etnisitas juga terjadi, terutama terhadap warga keturunan Tionghoa.

Narasi anti-Tionghoa masih muncul dalam berbagai kontestasi politik lokal dengan mengaitkan isu ekonomi dan kekuasaan.

Kasus lain termasuk politisasi isu Papua yang sering dikaitkan dengan separatisme.

Penggunaan sentimen anti-asing juga muncul dalam berbagai kebijakan ekonomi.

Gerakan Sosial Berbasis Identitas

Gerakan 212 dan aksi-aksi serupa menunjukkan mobilisasi massa berbasis identitas keagamaan.

Gerakan ini berhasil mengumpulkan jutaan massa dengan menggunakan narasi pembelaan agama Islam.

Karakteristik gerakan ini meliputi:

  • Penggunaan media sosial untuk mobilisasi
  • Keterlibatan organisasi keagamaan sebagai penggerak
  • Narasi “jihad konstitusional” untuk tujuan politik

Front Pembela Islam (FPI) dan organisasi serupa juga menunjukkan penggunaan identitas agama untuk agenda politik tertentu.

Mereka sering menggunakan isu moral dan keagamaan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Gerakan identitas juga muncul dalam bentuk organisasi kedaerahan.

Organisasi ini memperjuangkan kepentingan suku atau daerah tertentu dalam kontestasi politik nasional maupun lokal.